Permintaan izin kepada Presiden oleh penyidik Kepolisian Negara RI, untuk menyelidiki dan menyidik kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah daerah, sebaiknya tidak diperlukan.
Permintaan izin kepada presiden itu dinilai dapat menyita waktu, atau menghambat proses penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus korupsi.
Demikian disampaikan Kepala Divisi Humas Kepolisian Negara RI (Polri) Inspektur, Jenderal (Irjen) Saud Usman Nasution, di Jakarta, Kamis (10/11/2011). "Kami maunya seperti itu," kata Saud, ketika ditanya apakah ketentuan mengenai permintaan izin kepada presiden itu perlu direvisi.
Menurut Saud, dalam Undang-undang (UU) Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, ada ketentuan bahwa penyidik perlu meminta izin tertulis kepada Presiden, dalam menyelidiki dan menyidik kepala daerah atau wakil kepala daerah. "Ini yang membuat proses lama," katanya.
Selain itu, menurut Saud, hal lain yang kurang mendukung kinerja Polri menangani kasus-kasus korupsi adalah anggaran penanganan kasus yang masih keci. Secara rata-rata, anggaran penanganan satu kasus atau perkara korupsi di Polri sekitar Rp 37 juta per kasus atau perkara.
"Anggaran penanganan kasus korupsi di Polri sekitar Rp 37 juta per kasus," kata Saud.
Sebagai perbandingan, anggaran penanganan kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebesar Rp 400 juta per kasus.
0 komentar:
Posting Komentar